SCIENCE DAY 3 | Ernografi Digital & Perbedaan Perilaku Internet Lintas Generasi

Simak full webinarnya di Youtube Channel Laboratorium Psikologi Politik

Pada tanggal 30 Juli 2020, Laboratorium Psikologi UI mengadakan sebuah webinar mengenai perbedaan perilaku internet di antara generasi-generasi di Indonesia, khususnya di antara generasi X, Y, dan Z (atau antara kalangan Boomers, Millenials, dan Generation Z). Webinar tersebut dilaksanakan melalui Zoom, dengan dua pembicara tamu. Pembicara pertama adalah Endah Triastuti, Ph.D, seorang dosen dari Departemen Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia. Pembicara kedua adalah Ahmad Naufaulul Umam, M. Si, seorang dosen dari Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana dan peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia. Webinar ini juga di livestream dan di upload di YouTube Channel Laboratorium Psikologi Politik.

KONSEP DASAR ETNOGRAFI DIGITAL (dengan Endah Triastuti, Ph.D)

Etnografi adalah sebuah konsep yang sangat luas dan telah menarik lebih banyak minat penelitian seiring dengan semakin populernya penggunaan media digital. Secara tradisional, etnography didefinisikan sebagai sebuah bidang yang bercabang dari bidang antropologi yang menggunakan metode sistematis untuk mempelajari tentang budaya-budaya individu. Sekarang, media digital sudah menjadi bagian holistic, komprehensif, dan menempel dalam kehidupan kita yang melibatkan kontak secara langsung dan juga berbagai macam konteks (Seperti konteks budaya, politik, agama, dan lain-lain) (Pink et al., 2016, p 3).

Salah satu hal yang membuat riset dalam bidang etnografi digital menark adalah perbedaan sudut-sudut pandang para pengguna platform digital, meskipun mereka menggunakan platform yang sama. Semua hal di bidang digital dapat dilihat dari berbagai sudut pandang individu, tergantung dari interest dan fokus masing-masing. Jadi, situs atau platform apapun yang ingin diteliti sebenarnya tidak sepenuhnya digital, tetapi juga tidak sepenuhnya analog juga. Yang membuat bidang ini menarik adalah bahwa etnografi digital melibatkan berbagai macam perspektif agar dapat sepenuhnya memahami esensinya. Etnografi digital sendiri juga memiliki berbagai macam label dan pembagian, seperti virtual ethnography, internet ethnography, netnography, dan lain-lain.

Pakar etnografi digital megnanggap bahwa etnografi digital mencakup keterlibatan secara langsung dengan berbagai macam hal yang sedang terjadi, mendengarkan hal-hal yang sedang dikatakan oleh orang lain, dan di mana kita mungkin ingin melakukan lebih dari sekedar menghasilkan akun terhadap pengalaman-pengalaman manusia (O’Reilly, 2005:3). Etnografi digital memungkinkan individu untuk terlibat secara langsung dengan current affairs yang sedang terjadi dimana saja.

Dalam etnografi digital, ada berbagai macam hal yang dapat dilakukan oleh para pengguna platform media sosial dan teknologi. Para pengguna dapat terlibat dalam berbagai macam kegiatan di platform media sosial. Kemudian, hal-hal yang ingin diekspresikan oleh para individu dapat disebarkan dalam berbagai macam bentuk media selain tulisan, seperti video, fotografi, blogging, dan lain-lain agar dapat menarik lebih banyak orang untuk terlibat. Variasi bentuk-bentuk media tersebut memungkinkan penonton untuk mengalami pengalaman yang lebih vivid terhadap isi media yang sedang mereka konsumsi. Misalnya, ketika pengguna sedang menonton video ASMR Mukbang, misalnya, konten visual video tersebut memberikan gambaran yang jelas pada penonton tentang makanan Mukbang tersebut. Selain itu, konten audio juga membuat pengalaman makan Mukbang tersebut menjadi lebih jelas, jadi penonton dapat lebih mengetahui dengan lebih jelas mengenai pengalaman mengkonsumsi makanan Mukbang tersebut, tanpa harus mengalaminya secara langsung. Cukup hanya dengan memperhatikan pengalaman orang lain melalui media audio dan video tersebut, penonton dapat memiliki gambaran yang vivid mengenai hal-hal yang dirasakan oleh orang-orang dalam content tersebut. Jadi, Ketika meleiti dunia digital, sebaiknya kita tetap meneliti manusia juga, dan tidak mempelajari manusia seolah-oleh mereka hanya sekedar robot. Isi dari etnografi digital masih memiliki human values yang menjadi inti dari konten online mereka.

Secara umum, ada 5 prinsip etnografi digital: multiplicity, non-digital-centric-ness, openness, reflexivity, dan unorthodox. Multiplicity adalah ketika pengguna menggunakan lebih dari satu cara untuk engage dengan dunia digital. Ini bisa dilakukan dengan cara mengapropriasi gadget untuk penggunaan lainnya, seperti misalnya ketika seseorang menggunakan handphone untuk mengaca selain untuk keperluan digital lainnya. Kedua, non-digital-centric-ness adalah konsep bahwa dunia digital tidak tersentralisasi pada satu sumber. Ketika adalah openness, dimana etnografi digital adalah hal yang terbuka dimana semua pengguna dapat berpartisipasi dan berkolaborasi dengan para akademisi untuk mempelajari tentang etnografi digital, dan tidak self-centered. Keempat adalah reflexivity, yaitu dimana etnografi digital melibatkan reflexive practical, yaitu bagaimana kita memproduksikan pengetahuan. Dalam aspek ini, etika sangat penting. Semua informasi di etnografi digital berdasarkan pengalaman-pengalaman individu manusia, maka membutuhkan banyak refleksi dari peneliti mengenai bagaimana mereka bisa menghasilkan pengetahuan berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut. Kelima adalah unorthodox, dimana etnografi digital membutuhkan banyak bentuk atensi pada bentuk komunikasi alternatif.

Etnografi digital memiliki tujuh pendekatan konseptual. Pertama adalah experience, yaitu apa yang orang-orang rasakan. Kedua adalah practice, yaitu apa yang dilakukan oleh orang-orang. Ketiga adalah things, dimana berbagai macam object-object  menjadi bagian dari hidup kita. Keempat adalah relationships yang mencakup relasi-relasi sosial. Kelima adalah social world, yaitu mengenai bagaimana berbagai macam kelompok-kelompok memiliki konfigurasi sosial dengan orang lain. Keenam adalah locality yang berhubungan dengan bagaimana aktifitas digital tertentu terkumpul, dan ketujuh adalah events yang mengenai kejadian-kejadian tertentu yang terjadi dalam dunia etnografi digital.

Ketika mempelajari mengenai etnografi digital, karakteristik-karakteristik konten digital tertentu dapat memberikan informasi mengenai demografi mendasar mengenai para penggunanya. Misalnya, ketika sedang mempelajari blog-blog dari website-website tertentu, jika website tersebut memiliki domain “.com” dan bukan menggunakan domain dengan sebuah host seperti “.wordpress.com”, maka berarti website “.com” tersebut adalah website yang berbayar. Dengan informasi ini, dan didukung dengan informasi-informasi tambahan lainnya, peneliti dapat kira-kira ada kemungkinan bahwa pemilik website tersebut berasal dari pulau Jawa, karena rata-rata content creator dari pulau Jawa adalah trend-setter pada setting etnografi digital di Indonesia. Data-data digital mengenai informasi content digital dan para penggunanya juga sangat berguna dan dapat dimanfaatkan oleh peneliti untuk mempelajari lebih lanjut mengenai karakterisktik-karakteristik dan perilaku manusia dalam dunia digital. Relasi antara informasi-informasi tersebut juga dapat dipelajari dengan sebuah Teknik yang dikenal sebagai Social Network Analysis (SNA), yaitu adalah sebuah proses mengumpulkan dan menganalisis data dari berbagai macam social network seperti Facebook, Instagram, dan Twitter.

PERBEDAAN PERILAKU INTERNET LINTAS GENERASI (dengan Ahmad Naufaulul Umam, M. Si)

Perilaku manusia tidak hanya tercerminkan di dunia nyata, tetapi juga di dunia nyata. Misalnya, ini terlihat dari cara bagaimana orang dapat mempromosikan dirinya di media sosial. Berdasarkan fenomena ini, perbedaan perilaku penggunaan internet di antara generasi-generasi dapat terlihat secara mencolok.

Perilaku internet bisa jadi adalah hasil replikasi dari perilaku-perilaku orang lain, namun diakomodasi dengan pengetahuan dan wawasan para pengguna sendiri-sendiri. Maka, perilaku internet masing-masing individu dapat saling berbeda.

Ada perbedaan yang cukup banyak di antara perilaku internet anak-anak millennial dan generasi Z dengan para orang tua. Oleh karena itu, banyak orang tua merasakan kecemasan terhadap aktifitas internet anak-anaknya. Banyak orang tua juga memiliki kebingungan dalam membesarkan anak-anak mereka pada jaman digital.

Oleh karena kebingungan tersebut, munculnya berbagai macam tipe strategi parenting internet yang dapat digunakan orang tua ketika sedang membesarkan anak-anak mereka (Livinngstone, Helsper, 2008). Tipe strategi pertama adalah active co-use, dimana orang tua hadir bersama anak mereka ketika anak mereka sedang online, dan membantu anak-anak mereka ketika anak sedang mengalami kesulitan. Kedua adalah technical restrictions, dimana orang tua memasang software untuk memonitor dan filter konten yang dapat diakses oleh anak mereka. Ketiga adalah interactive restrictions dimana orang tua secara aktif memberikan peraturan mengenai kapan anak mereka bisa akses internet online. Keempat adalah monitoring, dimana orang tua memeriksa apa yang dilakukan oleh anaknya di dunia maya, seperti email mereka dan chat mereka.

Mengenai efektivitas perilaku parenting online, penelitian menemukan bahwa pembatasan dan komunikasi yang baik dengan anak mengenai pengunaan internet bisa menjadi efektif untuk meminimalisir resiko, seperti bullying dan perilaku criminal, namun bisa juga sebaliknya. Tetapi, hasil penelitian tersebut belum konklusif. Meskipun demikian, penelitian menunjukkan bahwa membatasi aktifitas online anak dapat meningkatkan resiko pada anak-anak dalam budaya individualis, tapi menurunkan resiko pada anak di budaya kolektivis.

Kesulitan orang tua untuk memahami dan memonitor perilaku online anak-anak mereka juga karena perbedaan antara generasi tua dan generasi muda ketika sedang menggunakan media teknologi internet. Generasi tua telah mengalami transisi dari analog ke digital, dan mayoritas generasi tua terpaksa untuk mengadaptasi pada dunia digital sekarang, meskipun mereka belum terbiasa dengannya. Ini dapat menyebabkan technostress pada generasi tua, yaitu ketika mereka mengalami stress dan ketidaknyamanan ketika menggunakan teknologi selama periode waktu yang lama. Tetapi, generasi muda belum tersentuh technostress, dan justru merasa gelisah jika terlepas dari gadget karena itu memberikan kesenangan bagi mereka (Osit, 2008). Generasi muda mengasosiasikan teknologi dengan kesenangan dan kebebasan untuk ekspresi diri, tetapi generasi tua cenderung untuk lebih tertekan jika harus berurusan dengan teknologi karena teknologi terasosiasikan dengan pekerjaan bagi mereka (Belotti et al., 2005).

Oleh karena berbagai macam perbedaan yang telah disebutkan disini, maka sangat penting bagi orang tua untuk memahami lebih lanjut mengenai perbedaan perilaku digital antara generasi mereka dengan generasi anak-anak mereka, agar mereka dapat menemukan solusi yang paling tepat untuk tetap menjaga anak-anak mereka dari bahaya-bahaya teknologi, tetapi juga tetap tidak menarik anak-anak mereka dari kebahagiaan dan kebebasan yang didapatkan anak-anak dari alat-alat digital mereka. Dengan ini, orang tua juga dapat memahami lebih dalam mengenai alasan yang mendasari perilaku-perilaku anak mereka agar dapat meningkatkan hubungan dengan anak-anak mereka.